KONSEP
DASAR PENGEMBANGAN
Dosen Pengampu: Astuti Diah Ikawati M. Pd
Disusun Oleh:
Juang
Hariadi (22161023)
Muhamad
Sandi (22161033)
Ilman
Mahdi (22161046)
Opin
Wiwinara (22101622)
Bq. Nia
HerawatI (22161037)
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS PENDIDIKAN DAN PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PENDIDIKAN MANDALIKA
2023
KATA
PENGANTAR
Segala Puji dan Syukur kami panjatkan selalu kepada Tuhan Yang Maha
Esa atas Rahmat, Taufiq, dan Hidayah yang diberikan sehingga kami bisa
menyelesaikan makalah ini untuk materi Etika profesi, Tujuan dari pembuatan
makalah ini tidak lain adalah untuk membantu para mahasiswa di dalam memahami
apa saja materi yang harus kita pelajari dan pahami selama mereka berada di
jenjang kelas.
Makalah ini juga akan memberikan informasi
secara lengkap mengenai materi apa saja yang akan kita pelajari yang berasal
dari berbagai sumber terpercaya yang berguna sebagai tambahan wawasan mengenai
bab-bab yang dipelajari tersebut.
Kami sadar bahwa dalam penyusunan makalah ini
bukan merupakan buah hasil kerja keras kami sendiri. Ada banyak pihak yang
sudah berjasa dalam membantu kami di dalam menyelesaikan makalah ini, seperti
pengambilan data, pemilihan materi, dan lain-lain. Maka dari itu, kami
mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
memberikan wawasan dan bimbingan kepada kami sebelum maupun ketika menulis buku
panduan ini.
Kami juga sadar bahwa makalah yang kami buat
ini masih belum bisa dikatakan sempurna. Maka dari itu, kami meminta dukungan dan
masukan dari para pembaca, agar kedepannya kami bisa lebih baik lagi di dalam
menyusun makalah.
Mataram,10
Mei 2023
Kelompok
5
DAFTAR ISI
A. Suatu Model Teknologi Pendidikan Untuk Pemerataan
Kesempatan Pendidikan Diindonesia
B. KONSEP DASAR PENGEMBANGAN SISTEM BELAJAR MANDIRI
2. Komponen Sistem Belajar Mandiri
9. Produksi dan Pengadaan Bahan Belajar
17. Implikasi SBM dalam
Manajemen
C. Suatu model kelembagaan IPTEK dalam pembangunan
pendidikan indonesia
2. Kecenderungan Pendidikan Masa Depan
3. Teknologi Pendidikan dan Potensinya
1. Kebijakan dan Penerapan Teknologi Pendidikan
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Pendidikan yang berkualitas dan
merata merupakan kunci penting dalam membangun masyarakat yang maju dan
berkelanjutan. Namun, di Indonesia, masih terdapat kesenjangan yang signifikan
dalam akses dan kualitas pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta
antara daerah yang lebih berkembang dengan yang kurang berkembang. Untuk
mengatasi masalah ini, diperlukan model teknologi pendidikan yang dapat
mendorong pemerataan pendidikan di seluruh negeri.
Dalam beberapa tahun terakhir,
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah memberikan peluang
besar dalam memperluas akses pendidikan dan meningkatkan kualitas pembelajaran.
Model-model teknologi pendidikan telah terbukti efektif dalam mengatasi
tantangan geografis dan infrastruktur yang ada di Indonesia, serta
memfasilitasi akses ke konten pendidikan yang relevan bagi semua siswa, terlepas
dari lokasi atau status sosial mereka.
2. Rumusan masalah
1.
Apakah
teknologi pendidikan dapat merupakan alternatif tindakan kebijakan untuk
pemerataan kesempatan pendidikan?
2.
Unsur
-unsur apa saja yang membentuknya model teknologi pendidikan?
3.
Apakah
suprasistem, sistem atau subsistem mempunyai ciri yang sama?
4.
Apa
saja konsep dasar belajar mandiri?
5.
Apa
saja yang di bahas di falsafah dan teori?
6.
Apa
saja unsur unsur SBM?
7.
Apa
saja ramuan dari kecenderungan pendidikan masa depan?
8.
Apa
saja tantangan di bidang teknologi pendidikan?
9.
Bagaimana
kebijakan dan penerapan teknologi pendidikan?
3. Tujuan
Untuk
mengetahui lebih lanjut rumusan masalah diatas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Suatu Model
Teknologi Pendidikan Untuk Pemerataan Kesempatan Pendidikan Diindonesia
1.
Disertasi
(penelitian)
Penelitian ini merupakan penelitian
kebijakan yang bersifat eksploratoris, yaitu mencari alternatif tindakan yang
dapat dilakukan untuk mencapai suatu tujuan kebijakan, yang dalam hal ini
pemerataan kesempatan pendidikan. Anggapan dasar yang melandasi penelitian ini
adalah bahwa tujuan pemerataan kesempatan pendidikan tidak dapat dicapai dengan
cara-cara yang konvensional, terutama karena adanya hambatan geografis dan
sosial-ekonomis. Oleh karena itu dicari bentuk tindakan alternatif kebijakan
pemerataan kesempatan pendidikan.
Masalah pokok penelitian adalah:
Apakah teknologi pendidikan dapat merupakan alternatif tindakan kebijakan untuk
pemerataan kesempatan pendidikan? Masalah pokok ini dipakai dasar untuk me-
rumuskan serangkaian tujuan penelitian yaitu: (1) memperoleh kejelasan konsep
kebijakan pemerataan kesempatan pendidikan dan konsep kebijakan teknologi
pendidikan; (2) memperoleh kejelasan tentang ciri-ciri operasionalisasi konsep teknologi
pendidikan untuk tujuan pemerataan kesempatan pendidikan; (3) memperoleh
konfirmasi tentang ciri-ciri kebijakan pemerataan kesempatan pendidikan serta
kriteria untuk tindakan alternatif ke arah pemerataan kesempatan pendidikan;
dan (4) memperoleh ciri-ciri penerapan teknologi pendidikan yang sesuai dengan
kriteria alternatif tindakan kebijakan ke arah pemerataan kesempatan
pendidikan.
Kerangka penelitian ini adalah
mencari hubungan antara variabel terikat, yang dalam hal ini adalah kebijakan
pemerataan kesempatan pendidikan, dengan variabel bebas, yaitu konsep teknologi
pendidikan. Bentuk hubungan itu disebut variabel perantara yang dapat dibedakan
menjadi dua: variabel pelaksanaan dan variabel penghubung. Mengingat bahwa
kebijakan pemerataan kesempatan pendidikan merupakan kebijakan yang luas, maka
diidentifikasi kebijakan komplementer untuk mencapai tujuan pemerataan
kesempatan pendidikan itu; kebijakan komplementer ini merupakan variabel
tambahan. Sedangkan hambatan geografis dan sosial- ekonomis merupakan variabel
penghambat. Meskipun dalam penelitian ini dapat diidentifikasi
variabel-variabelnya, namun penelitian ini tidak bermaksud meneliti variabel
itu sendiri ataupun saling hubungan antara semua variabel. Kerangka pemikiran
ini dipergunakan untuk memberikan batasan penelitian dan menunjukkan variabel
mana yang perlu diteliti lebih lanjut.
Metodologi utama yang dipakai dalam
penelitian ini adalah pembandingan terus-menerus (constant comparative method),
dengan meng- gunakan berbagai jenis sumber data (multiple sources of data).
Kurun waktu adalah PELITA I, II, dan III atau mulai tahun 1969/1970-1983/ 1984.
Sumber data berupa para pengambil kebijakan eksekutif maupun legislatif yang
berhubungan dengan gejala yang diteliti, dokumen kebijakan resmi yang
berhubungan dengan pemerataan kesempatan pendidikan dan teknologi pendidikan,
serta peristiwa pemerataan kesempatan pendidikan dan teknologi pendidikan yang
serasi.
Pelaksanaan penelitian dapat
dibedakan dalam empat tahapan dengan pembahasan kepustakaan sebagai tahap
persiapan penelitian. Tahap persiapan ini dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh kejelasan tentang konsepsi pemerataan kesempatan pendidikan dan
teknologi pendidikan, serta untuk menyempurnakan kerangka pemikiran dengan
ditemukannya faktor-faktor baru yang belum diperhitungkan sebelumnya. Tahap
pertama penelitian dilakukan dengan teknik analisis isi terhadap dokumen
kebijakan resmi yang berhubungan dengan pemerataan kesempatan pendidikan dan
teknologi pendidikan. Tahap kedua dilakukan dengan teknik wawancara terstruktur
dan observasi terhadap orang dan tindakan yang berhubungan dengan pelaksanaan
pemerataan kesempatan pendidikan. Tahap ketiga dilakukan memakai teknik
wawancara terfokus dengan para pengambil kebijakan.
Meskipun pelaksanaan penelitian
dapat dibedakan dalam empat tahap. namun proses analisis data berlangsung
maju-mundur, atau dengan kata lain analisis sudah dimulai begitu data
dikumpulkan, sehingga ada semacam irama dalam mengumpulkan dan menganalisis
data. Pada tahap penelitian pertama dapat diperoleh kategori dan indikator
kebijakan pemerataan kesempatan pendidikan dan teknologi pendidikan.
Kategori dan indikator pemerataan kesempatan pendidikan hasil penelitian tahap
pertama ini diperbandingkan dengan hasil penelitian tahap ketiga untuk
diperoleh generalisasi data yang merupakan batasan bagi alternatif tindakan
yang dicari. Sedangkan kategori dan indikator kebijakan teknologi pendidikan
diperbandingkan dengan kategori dan indikator penerapan konsep teknologi pendidikan
untuk pemerataan kesempatan pendidikan yang merupakan hasil penelitian tahap
kedua. Hasil pembandingan ini diperbandingkan lagi dengan hasil penelitian
tahap ketiga yang berupa kategori dan indikator alternatif tindakan kebijakan
untuk pemerataan kesempatan pendidikan.
Hasil pembandingan terakhir
menunjukkan bahwa terdapat kesesuaian antara kategori dan indikator pelaksanaan
kebijakan teknologi pendidikan untuk pemerataan pendidikan dengan kategori dan
indikator alternatif tindakan kebijakan pemerataan kesempatan pendidikan. Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa teknologi pendidikan sesuai untuk pemerataan
kesempatan pendidikan. Sementara itu dalam proses analisis data telah diperoleh
pula kaitan atau saling hubungan antara kategori dan indikator. Dengan telah
diketahui pula batasan bagi alternatif tindakan yang dicari, maka disusunlah
suatu model teknologi pendidikan untuk pemerataan kesempatan pendidikan. Model
ini adalah model naratif yang bersifat preskriptif.
Model teknologi pendidikan ini merupakan
model pendidikan kompensatoris bagi anak-anak yang mengalami hambatan
sosial-ekonomis dan geografis-demografis, agar mereka dengan sumber yang
berbeda dapat mencapai tujuan pemerataan kesempatan pendidikan yang sama dengan
anak-anak yang tidak mengalami hambatan. Model ini mengandung aspek
kuantitatif, kualitatif, dan keserasian yang terjalin menjadi satu. Model ini
secara ringkas dapat ditunjukkan dengan unsur-unsur yang membentuknya sebagai
berikut:
1.
Sumber
belajar sebagai produk yang memungkinkan terjadinya tindak belajar. Sumber
belajar yang terpenting adalah guru, dengan pengertian guru yang berkembang,
yaitu mereka yang bertanggung jawab dalam pembelajaran. Media pendidikan
merupakan suatu dimensi baru dalam kegiatan belajar. Isi pesan mengandung
standar nasional minimum dan diperkaya sesuai dengan kebutuhan lingkungan.
Gedung sekolah tidak merupakan sumber belajar yang esensial.
2.
belajar-mengajar
berlangsung dengan memerhatikan kondisi dan kebutuhan anak didik. Disiplin
untuk belajar merupakan kunciberhasilnya proses ini. Proses ini dapat
berlangsung dengan adanya interaksi antara anak didik dengan sumber belajar
yang tidak selalu berupa guru. Penilaian proses belajar-mengajar dilakukan
terus-menerus untuk memungkinkan bimbingan dan pembinaan yang lebih efektif.
3.
Struktur
organisasi lembaga pendidikan mengalami perubahan, di mana tumbuh pola
instruksional yang bervariasi, berbagai bentuk lembaga pendidikan, dan tingkat
pengambilan keputusan dalam proses instruksional.
4.
Kewenangan
dan tanggung jawab guru kelas mengalami perkembangan, karena adanya tim
pembelajaran yang memilih dan menyusun bahan belajar. Peranan guru kelas
berkembang dan dituntut lebih banyak peranannya sebagai pengelola kegiatan
belajar.
5.
Fungsi
pengembangan dilaksanakan dengan sistemik untuk menghasil- kan sumber belajar
serta untuk berlangsungnya sistem instruksional yang efektif.
6.
Pengelolaan
model ini dilakukan secara luwes dengan berorientasikan tujuan. Kerja sama
lintas sektoral dan koordinasi antarunit ditingkatkan. Diperlukan biaya khusus
untuk penyelenggaraan dengan menekankan pada pertimbangan efektivitas dan
efisiensi. Diperlukan pengelolaan personalia dan organisasi secara khusus.
B. KONSEP DASAR
PENGEMBANGAN SISTEM BELAJAR MANDIRI
1.
Pendahuluan
Suatu sistem adalah perpaduan antara
sejumlah komponen yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri, namun saling
berkaitan untuk mencapai suatu tujuan bersama, dalam suatu lingkungan yang
kompleks. Pendidikan nasional merupakan suatu sistem yang merupakan perpaduan
dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan yang
lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional (UU No. 2
Tahun 1989 Pasal 1, Ayat [3]). Sistem ini merupakan suprasistem yang terdiri
atas sejumlah sistem dan subsistem yang semuanya saling berkaitan, namun
mempunyai fungsi sendiri dan bekerja secara terpisah.
Pendidikan dan pelatihan kedinasan
merupakan salah satu sistem, dari suprasistem pendidikan nasional. Sedangkan
diklat tertulis merupakan subsistem dari diklat kedinasan. Setiap sistem,
apakah itu suprasistem, sistem atau subsistem mempunyai ciri yang sama, yaitu:
1.
Adanya
tujuan yang ditentukan secara sadar dan sengaja.
2.
Adanya
komponen atau bagian yang terpisah.
3.
Adanya
keterpaduan antara semua komponen/bagian.
4.
Adanya
keterbukaan, yaitu interaksi dengan sistem yang lebih luas yang merupakan
lingkungannya.
5.
Terjadinya
transformasi, yaitu bahwa penggabungan komponen/bagian akan menghasilkan
sesuatu yang bernilai tambah dari sekadar penjumlahan masing-masing
komponen/bagian.
6.
Adanya
suatu mekanisme kendali yang mengatur kekompakan fungsi masing-masing komponen
Konsep dasar sistem belajar mandiri
adalah pengaturan program belajar yang diorganisasikan sedemikian rupa sehingga
tiap peserta didik/pelajar dapat memilih dan atau menentukan bahan dan kemajuan
belajar sendiri. Namun dalam pelaksanaannya konsep dasar itu dikembangkan
dengan menggunakan rambu-rambu sebagai berikut:
1.
Adanya
pilihan materi ajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta, dan tersaji dalam
beraneka bentuk.
2.
Pengaturan
waktu belajar yang luwes, sesuai dengan kondisi masing- masing peserta didik.
3.
Kemajuan
belajar yang dipantau oleh berbagai pihak yang dapat dilakukan kapan saja
peserta didik telah merasa siap.
4.
Lokasi
belajar yang dipilih/ditentukan sendiri oleh peserta didik.
5.
Dilakukannya
diagnosis kemampuan awal dan kebutuhan serta remediasi bila kemampuan itu
kurang atau pengecualian bila kemampuannya sudah dikuasai.
6.
Evaluasi
hasil belajar dengan berbagai cara dan bentuk seperti tes penguasaan, tes baku,
tes kolokium, pembuatan portofolio, dan sebagainya.
7.
Pilihan
berbagai bentuk kegiatan belajar dan pembelajaran yang sesuai dengan kondisi
dan karakteristik peserta didik maupun pelajaran.
Sistem Belajar Mandiri (SBM) sebagai
suatu sistem dapat dipandang sebagai struktur, proses, maupun produk. Sebagai
suatu struktur maksud- nya ialah adanya suatu susunan dengan hierarki tertentu.
Sebagai proses adalah adanya tata cara atau prosedur yang runtut. Sedangkan
sebagai produk adalah adanya hasil atau wujud yang bermanfaat.
2.
Komponen
Sistem Belajar Mandiri
Kalau kita uraikan secara menyeluruh SBM meliputi komponen falsafah
dan teori, kebutuhan, organisasi, peserta, program, produksi, penyebaran,
pemanfaatan, organisasi, tenaga, prasarana, sarana, bantuan dan pengawasan,
kegiatan belajar, dan penilaian/penelitian. Semua komponen ini saling berkaitan
dan terintegrasi dalam suatu kesatuan. Secara operasional pengertian SBM dengan
segala komponennya ini lebih merupakan suatu pola konseptual dan tindakan.
Gambar 4.1 adalah ilustrasi dari komponen-komponen SBM. Penjelasan
masing-masing komponen akan dipaparkan berikut ini.
3.
FALSAFAH
DAN TEORI
Setiap tindakan yang sengaja dan sadar tentu mempunyai dasar. Kalau
kita telaah secara mendalam dasar tindakan itu adalah falsafah dan atau teori.
Tindakan untuk menyelenggarakan SBM karena itu tentu mempunyai dasar falsafah
dan atau teori. Setiap pembahasan falsafah atas suatu gejala atau objek paling
sedikit perlu diungkap: apa hakikat gejala/objek tersebut (landasan ontologi),
bagaimana (asal, cara, struktur, dan lain-lain) cara penggarapan gejala/objek
tersebut (landasan epistemologi), dan apa manfaat pembahasan gejala/objek
tersebut (landasan aksiologi).
Pertimbangan ontologi. Ada sejumlah
postulat yang dapat dijadi kan pegangan dalam mengembangkan konsep belajar
mandiri, yaitu: (1) manusia dilahirkan dalam keadaan berbeda; (2) manusia
mempunyai kemampuan untuk belajar dan mengembangkan diri sesuai dengan potensi
yang ada padanya dan lingkungan yang memengaruhinya; (3) manusia mempunyai
keluwesan dan kemampuan untuk mengubah dan membentuk kepribadiannya. Postulat
ini boleh dikatakan berlaku secara universal, namun khusus bagi kita, orang
Indonesia, dasar ontologi ini terjabarkan dalam berbagai keputusan perundangan
yang bersifat formal, maupun ragam budaya termasuk tradisi tidak
tertulis. Dalam ketentuan perundangan seperti UUSPN tercantum penegasan bahwa
tujuan pendidikan adalah membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang memiliki
pengetahuan dan keterampilan serta berkepribadian yang mantap dan mandiri.
Dalam UUSPN itu selanjutnya dijelaskan bahwa mandiri itu berarti mampu memenuhi
kebutuhan diri sendiri dan ikut serta dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.
Kebutuhan masyarakat di sini adalah kebutuhan untuk memperoleh pendidikan.
Untuk dapat ikut serta berperan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat perlu
terlebih dahulu mengembangkan kemampuan diri sendiri. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa salah satu hakikat diselenggarakannya SBM adalah untuk
mengatasi masalah belajar dan kinerja.
Pertimbangan epistemologi. Secara legal
keberadaan SBM tentunya didasarkan pada ketentuan hukum atau perundangan yang
ada; Sedangkan secara konseptual keberadaannya didasarkan pada anggapan bahwa
semua manusia dapat belajar apa saja, melalui apa saja, dari apa dan siapa
saja, kapan saja, dengan cara yang sesuai dengan karakteristik dan kondisi
masing-masing. Karena SBM pada dasarnya merupakan salah satu penerapan konsep
Teknologi Pendidikan, maka berlaku pula prinsip Teknologi Pendidikan sebagai
berikut: (1) memadukan berbagai macam pendekatan dari bidang psikologi,
komunikasi, manajemen, rekayasa, dan lain-lain; (2) memecahkan masalah secara
menyeluruh dan bersistem. Menyeluruh berarti tidak bersifat tambal sulam dan
memerhatikan semua aspek. Bersistem berarti dilakukannya prosedur yang teratur
dan berurutan, dengan senantiasa melakukan perbaikan; (3) mengkaji semua
kondisi dan saling kaitan di antaranya, dan menggunakan teknologi sebagai
proses dan produk untuk memecahkan masalah; dan (4) mengusahakan adanya efek
sinergi, di mana penggabungan unsur-unsur mempunyai nilai lebih dari sekadar
penjumlahan.
Pertimbangan aksiologi. Manfaat SBM
pertama-tama ditujukan kepada peserta didik/pelajar, yaitu agar mereka dapat
dimungkinkan mengikuti pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kondisi mereka.
Peserta SBM masih dapat melaksanakan kegiatan sehari-hari demi untuk ke-
langsungan misi organisasi. Para peserta harus mampu belajar di sela-sela
kegiatan itu dengan bahan belajar mandiri berupa modul cetakan. Bilamana ada
masalah dalam belajar itu yang tidak dapat mereka pecahkan sendiri, mereka
dapat mencari bantuan narasumber yang ada di dekatnya atau yang diberi tugas
untuk membimbing. Bagi lembaga penyelenggara maupun masyarakat SBM juga membawa
manfaat, misalnya: (1) dapat dipercepatnya usaha peningkatan mutu karyawan; (2)
tidak diperlukannya biaya yang besar untuk penyelenggaraannya; (3) tidak
terganggunya kegiatan organisasi; (4) harapan akan meningkatnya mutu pelayanan.
Kerangka teori. SBM juga
didasarkan pada sejumlah teori dan konsepsi tertentu. Salah satu bentuk teori
yang perlu dijadikan landasan SBM adalah teori instruksional yang bersifat
preskriptif, artinya teori yang memberikan "resep" untuk mengatasi
masalah. Kerangka teori ini mengandung tiga variabel, yaitu: kondisi,
perlakuan, dan hasil, dan dapat digambarkan seperti berikut ini
Gambar itu dapat dijelaskan sebagai berikut: karakteristik siswa
meliputi pola kehidupan sehari-hari, keadaan sosial-ekonomi, kemampuan membaca,
dan sebagainya. Karakteristik pelajaran meliputi tujuan apa yang ingin dicapai
dalam pelajaran tersebut, dan apa hambatan untuk pencapaian itu. Pengorganisasi
bahan pelajaran, meliputi antara lain bagaimana merancang bahan untuk keperluan
belajar mandiri. Strategi penyampaian meliputi pertimbangan penggunaan media
apa untuk menyajikan apa, bagaimana cara menyajikannya, siapa dan atau apa yang
akan menyajikan, dan sebagainya. Sedang pengelolaan kegiatan meliputi keputusan
untuk mengembang-kan dan mengelola serta kapan dan bagaimana digunakannya bahan
pelajaran dan strategi penyajiannya.
Model instruksional yang dapat dijadikan landasan SBM, misalnya.
adalah model J. B. Carroll (Wager, 1977) mengenai faktor waktu dalam
keberhasilan belajar, yang diadaptasi sebagai berikut:
Variabel waktu yang digunakan dapat dirinci lebih lanjut menjadi
waktu yang diberikan dan kegigihan. Sedangkan variabel waktu yang digunakan
terdiri atas kemampuan, kualitas instruksional, dan kemauan.
Model tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut: meningkatnya nilai pembilang (waktu yang
diberikan dan kegigihan) akan meningkatkan waktu yang diperlukan, dan
mengakibatkan meningkatnya keberhasilan belajar. Sedangkan meningkatnya nilai
pada sebutan (kemampuan, kualitas intruksional, dan kemauan) akan menurunkan
waktu yang digunakan, dan karena itu akan meningkatkan keberhasilan belajar.
4.
Kebutuhan
Berdasarkan
landasan falsafah dan teori, jelaslah bahwa yang perlu diberi perhatian utama
adalah para peserta BM. Meskipun pada akhirnya suatu program BM diharapkan
untuk dapat meningkatkan kinerja suatu organisasi, tetapi perlu memberikan
perhatian terlebih dahulu terhadap personel dalam organisasi yang bersangkutan.
Oleh karena itu dalam mengidentifikasikan kebutuhan, maka yang pertama perlu
dilakukan adalah kebutuhan belajar dan berkarya bagi para calon peserta.
Kebutuhan mereka itu mungkin berupa
kebutuhan yang dirasakan (seperti halnya merasa kurang mampu), atau kebutuhan
yang dinyatakan, yaitu bilamana seseorang bersedia mengeluarkan dana dan tenaga
untuk memperoleh sesuatu (mungkin yang bermanfaat untuk pekerjaan, mungkin pula
untuk sekadar mengejar status atau gengsi). Tetapi sering pula para calon
peserta itu tidak mengetahui kebutuhan yang bersifat normatif, yaitu yang
didasarkan pada suatu standar tertentu, dan kebutuhan masa depan, yaitu
kebutuhan yang dirancang selaras dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Kebutuhan ini dapat diketahui dengan
mengadakan pengkajian lapangan dan konseptual. Pengkajian lapangan sering kali
disebut dengan "training/learning needs assessment", dan
dilakukan dengan berbagai cara seperti kuesioner, observasi, dan
wawancara. Sedangkan pengkajian konseptual dilakukan dengan melakukan studi
perbandingan (kajian empirik) atau pembahasan oleh para ahli.
5.
Peserta
Peserta SBM tidak dapat dikontrol
kegiatan belajar kesehariannya, seperti halnya dalam suatu kursus atau
penataran konvensional (tatap muka). Pengawasan, yang pada sistem konvensional
dilakukan oleh penatar, dalam SBM harus dilakukan oleh peserta sendiri.
Mengingat akan hal itu maka sebelum
suatu program SBM dimulai perlu dilakukan pengkajian konteks, dan karakteristik
para peserta. Pengkajian konteks meliputi kondisi fisik, intelektual, dan
sosial-ekonomi, serta pola kegiatan sehari-hari calon peserta yang
bersangkutan. Sedangkan pengkajian karakteristik meliputi minat, kebiasaan,
aspirasi, latar belakang pendidikan, kemampuan baca, dan sebagainya.
Pengkajian-pengkajian
itu dapat dilakukan dengan pendekatan prag. matis, yaitu dengan menggunakan
data lunak (soft data) berupa persepsi, nilai, dan keinginan yang dihayati oleh
sekelompok perencana tentang apa yang diperlukan, dan mempertimbangkan apa yang
dapat dilakukan. Pendekatan yang ideal adalah dengan menggunakan data mantap
(hard data) melalui penelitian khusus atau dengan menganalisis hasil penelitian
serasi yang sudah ada.
6.
Program
Bertolak dari hasil analisis data
lunak/mantap serta karakteristik dan kebutuhan peserta, kemudian ditentukan
tujuan program, pola instruksional, format bahan belajar, urutan pelajaran,
sumber bahan pelajaran, deskripsi isi, dan kriteria penggarapannya.
Rencana yang telah disusun ini kemudian dikembangkan dengan
menentukan materi ke dalam sejumlah topik, dan kemudian dijabarkan lagi dalam
bentuk naskah untuk diproduksi. Kegiatan pengembangan ini dapat dilakukan
sendiri, namun dapat juga dilimpahkan kepada lembaga lain di luar lembaga
dengan bantuan narasumber.
Perencanaan program mempunyai arti yang sangat penting, karena dari
rencana inilah digerakkan seluruh kegiatan lain. Misalnya program apa yang
harus diproduksi, kapan harus siap, berapa besar dana yang perlu disediakan,
sarana apa yang perlu ada, siapa yang perlu mengerjakan, dan sebagainya.
Oleh karena itu perencanaan yang baik akan mempermudah pelaksanaan selanjutnya.
Perencanaan program harus pula memperhitungkan faktor lain di luar
karakteristik dan kebutuhan calon peserta. Salah satu faktor penting adalah
perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Melalui teknologi ini orang
dapat menerima gagasan, informasi, sikap atau nilai tanpa sengaja dan
terencana.
7.
Strategi
Yang dimaksud dengan strategi adalah
pendekatan menyeluruh dalam pembelajaran, dan yang berupa pedoman umum dan
kerangka kegiatan yang dijabarkan dari pandangan falsafah dan teori tertentu.
Strategi ini ditetapkan untuk mencapai tujuan umum.
Penentuan strategi pada umumnya
meliputi:
1.
Tujuan
belajar, jenis dan jenjangnya
2.
Cara
penyajian bahan pelajaran
3.
Media
yang digunakan
4.
Biaya
yang diperlukan
5.
Waktu
yang diberikan dan jadwalnya
6.
Prosedur
kegiatan belajar
7.
Instrumen
dan prosedur penilaian
Penentuan
strategi ini memberikan masukan kepada pengembangan materi, distribusi, dan
kegiatan belajar.
Bertolak dari dasar model Carroll
maka variabel yang dapat dikontrol oleh penyelenggara SBM adalah waktu yang
diberikan dan kualitas instruksional. Waktu yang diberikan dapat ketat atau
luwes. Kalau pesertanya heterogen, maka seyogianya waktunya luwes. Kualitas
instruksional dalam SBM adalah kualitas bahan ajaran itu yang kebanyakan berupa
modul cetak atau paket bahan belajar. Kualitas instruksional mengandung empat
rujukan, yaitu kesesuaian, daya tarik, efektif, dan efisien. Kesesuaian
mengandung ciri, antara lain kesepadanan dengan karakteristik peserta,
keserasian dengan aspirasi, dan keselarasan dengan tuntutan zaman. Daya tarik
mengandung ciri kemudahan memperoleh dan mencerna, kemustarian (ketepatsaatan)
pesan, dan keterandalan yang tinggi. Efektivitas me- ngandung ciri
pengembangannya yang bersistem, kejelasan dan kelengkapan tujuan, dan kepekaan
terhadap kebutuhan peserta. Efisiensi mengandung ciri keteraturan dan kehematan
dalam artian waktu, tenaga, dan dana.
8.
Materi
Pelajaran
Meskipun secara teoritik dalam SBM
para peserta dapat memilih dan menentukan materi pelajaran yang diperlukannya,
namun dalam praktik paling tidak akan ditentukan pedoman tentang materi yang
memenuhi syarat untuk dipilih. Bahkan dalam kenyataannya, materi ini telah disiapkan
oleh penyelenggara, dengan alasan untuk mengendalikan mutu dan meningkatkan
efisiensi. Materi pelajaran yang sengaja di- kembangkan ini, dapat disajikan
melalui media apa saja. Namun, masih ada sejumlah ketentuan lain yang tidak
dapat diabaikan. Materi itu perlu diolah sedemikian rupa dengan memerhatikan
strategi, serta sifat materi itu sendiri. Materi yang bersifat kognitif lebih
ringan pengembangannya dari materi yang bersifat afektif dan psikomotor. Materi
yang mengandung aspek psikomotor lebih sulit untuk dikembangkan, apalagi kalau
harus berpegangan pada satu macam medium saja seperti yang ditentukan dalam
strategi, yaitu medium cetak.
Dalam pengembangan materi ini harus
benar-benar diperhatikan kondisi dan karakteristik peserta. Masyarakat kita
pada umumnya masih dikenal sebagai masyarakat yang masih berbudaya mendengar
dan belum berbudaya membaca, apalagi membaca secara mandiri. Penggunaan
ilustrasi, kalimat-kalimat pendek, kosa kata yang terbatas, serta tata letak
(layout) menarik pada bahan cetak akan sangat menolong keadaan ini.
9.
Produksi
dan Pengadaan Bahan Belajar
Yang dimaksud dengan produksi adalah
pembuatan paket bahan pelajaran sendiri, berdasarkan naskah yang telah
dirancang sesuai dengan kriteria pengolahan. Sedangkan yang dimaksud dengan
pengadaan paket adalah pembelian bahan belajar yang sudah jadi, misalnya modul
yang sudah dibuat oleh Puslitbangjari UNS atau Universitas Terbuka.
Kegiatan produksi dapat dipandang
sebagai suatu subsistem, yang bertujuan untuk menghasilkan produk berupa paket
belajar. Kalau paket belajar itu berupa video misalnya, maka komponen kegiatan
itu meliputi penugasan penulis, penunjukan kerabat produksi, pemilihan pelaku,
pembuatan latar, pemilihan lokasi, penjadwalan kerja, penyediaan dana dan logistik,
pengambilan rekaman, penyuntingan rekaman, pengkajian hasil rekaman (preview),
dan penyempurnaan hasil rekaman. Kegiatan produksi ini harus dilakukan oleh
suatu tim yang mempunyai keterampilan atau kemahiran khusus. Hal ini berkaitan
dengan komponen tenaga.
10. Distribusi/Penyebaran
Distribusi bahan pelajaran kepada
para peserta perlu memerhatikan strategi, kesiapan produksi, serta sarana dan
prasarana. Dalam suatu SBM yang waktunya tertentu dan terbatas seperti misalnya
SMP Terbuka, masalah distribusi ini dapat menjadi faktor penentu, karena
keterlambatan distribusi menyebabkan keterlambatan kegiatan belajar atau
terbatasnya waktu yang diberikan untuk belajar.
Masalah distribusi tidak hanya
meliputi masalah pengepakan dan pengiriman, melainkan pula pemilihan bahan
belajar yang tepat, pencatatan, dan pemantauan. Pada sistem U.T. digunakan jasa
pos untuk keperluan distribusi, ditunjang dengan UPBJJ (Unit Pelayanan Belajar
Jarak Jauh) yang ada di kota-kota besar. Dalam sistem SMPT digunakan jalur
struktural melalui Kanwil Depdikbud ke sekolah induk yang ada di kecamatan.
Lokasi sekolah induk ini ada yang hanya dapat dicapai dengan perahu dalam waktu
empat jam dari ibukota provinsi. Dengan pemekaran SMPT di masa mendatang lokasi
semacam ini akan semakin banyak, dan tentunya mempersulit usaha distribusi.
11. Kegiatan Belajar
Puncak kegiatan SBM adalah
terjadinya kegiatan belajar oleh peserta. Peserta diharapkan mampu belajar di
tempat yang ditentukan sendiri, pada waktu yang dipilihnya sendiri, dan dengan
cara belajar sendiri tanpa bimbingan tatap muka dari orang lain. Namun hal ini
tergantung pada kondisi dan karakteristik peserta, serta kualitas bahan
pelajaran.
Pada kasus SMPT, mengingat kondisi
dan karakteristik anak usia 13-17 tahun, siswa masih memerlukan bimbingan
kegiatan belajar yang sesering mungkin. Bimbingan itu dapat diberikan oleh
orang tua, tokoh masyarakat, maupun guru SD di tempat tinggalnya. Kepada para
siswa pun disarankan agar mereka membentuk kelompok belajar pada lokasi yang
berdekatan. Kelompok itu tidak harus setingkat, atau dengan mata pelajaran yang
sama. Dalam kasus Universitas Terbuka pun masih cukup banyak mahasiswa yang
memerlukan bimbingan belajar dalam bentuk tutorial. Kegiatan tutorial ini
diselenggarakan di luar struktur UT.
Pada sistem SBM yang ideal, kegiatan
belajar ini tidak dibatasi waktu, jadi lebih ditekankan pada pendekatan
penguasaan (mastery concept). Penguasaan atas tujuan belajar dapat dibuktikan
(dievaluasi) dengan berbagai macam cara, yaitu dengan self-test (tes sendiri),
tes baku yang dapat diamb kapan saja, tes baku pada saat tertentu saja, tes
kolokium, dan pembuatan portofolio. Pengembangan berbagai macam cara evaluasi
ini tentunya akan mempersulit pengelolaan. Dalam kasus UT, misalnya, tiap
mahasiswa diberi kesempatan untuk menempuh ujian yang diselenggarakan dua kali
dalam satu tahun, sesuai dengan kesiapan mereka. Kalau masih ada kesulitan
dalam penguasaan, mahasiswa dibolehkan untuk cuti akademik yang lama waktunya
tidak diperhitungkan sebagai lama waktu belajar.
12. Organisasi Penyelenggara
Penyelenggaraan SBM merupakan
sesuatu usaha pembaruan yang penuh dengan tantangan. Karena itu idealnya
dituntut organisasi pe- nyelenggara khusus. Memang dalam skala perintisan atau
kecil, suatu lembaga Diklat dapat berdwi fungsi menyelenggarakan diklat
konvensional dan diklat belajar mandiri. Namun mengingat hakikat SBM yang
berbeda, seyogianya ada organisasi tersendiri, yang lincah, berpandangan jauh
ke depan, serta mampu menjalin kerja sama yang luas dengan berbagai pihak yang
berkaitan.
Penyelenggaraan pendidikan (termasuk
SBM) dapat dibedakan dalam tiga dimensi, yaitu: (1) persyaratan, dengan
rentangan ketat dan longgar, (2) kewenangan, dengan rentangan memusat dan
menyebar; dan (3) sumber belajar, dengan rentangan yang terbatas dan leluasa.
Sistem Diklat konvensional, seperti halnya sekolah konvensional, mempunyai
persayaratan yang ketat, kewenangan yang memusat, dan sumber yang terbatas.
Dalam sistem Diklat yang terbuka, persyaratannya longgar kewenangannya menyebar,
dan sumbernya bervariasi. Bahkan bila sudah tercipta masyarakat belajar, maka
persyaratannya sangat longgar kewenangannya tersebar kepada masing-masing
peserta dan anggota masyarakat lain, dan sumber belajarnya bebas untuk dipilih
dan digunakan.
Organisasi penyelenggara perlu
dibentuk sejak awal timbulnya gaga san. Belajar dari kasus yang ada di
Indonesia dapat diketahui bahwa pada saat gagasan pendidikan jarak jauh dengan
menggunakan media komunikasi massa dituangkan dalam REPELITA I, belum ada
organisasi yang dibentuk yang ada baru lembaga yang diberi tugas untuk
melaksanakan pendidikan tertulis. Oleh karena itu langkah pertama yang
dilakukan adalah rekrutmen tenaga yang diikuti latihan, serta inventarisasi
kegiatan dan sarana yang serasi yang telah ada. Karena kesulitan sarana dan
prasarana di dalam negeri, maka latihan diselenggarakan di luar negeri. Tindak
lanjut hasil latihan itu masih memerlukan waktu yang lama karena keterbatasan
dana, sarana, dan prasarana.
Karena berbagai pertimbangan
birokrasi, organisasi penyelenggara dalam lingkup Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan baru dibentuk pada tahun 1978 yang diberi nama Pusat Teknologi
Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan (Pustekkom Dikbud), setelah sebelumnya
berstatus sebagai Tim Studi dan Tim Penyelenggara Teknologi Komunikasi untuk
Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan.
Gagasan untuk menyelenggarakan
sistem pendidikan terbuka jenjang SLTP dikembangkan mulai tahun 1976, dan
kemudian direalisasikan pada tahun 1978. Pada waktu itu memang hanya ada 5 SMP
Terbuka perintisan. Sekarang ini sudah ada 956 buah. Pada akhir PELITA VI
diharapkan dapat dibuka 6.000 SMP Terbuka-suatu jumlah yang sangat menantang.
Untuk dapat mengelola sistem SMPT itu mutlak diperlukan suatu organisasi
tersendiri, terlepas dari organisasi yang sudah ada sekarang. Tanpa adanya
suatu organisasi khusus yang menangani sistem ini dapat menyebabkan kegagalan
penyelenggaraan.
Dalam organisasi ini perlu dihimpun
tenaga, sarana, dan prasarana yang diperlukan.
13. Tenaga
Sumber daya manusia boleh dikatakan
merupakan kunci keberhasilan penyelenggaraan SBM. Tenaga terdidik sebenarnya
telah tersedia melalui Program Teknologi Pendidikan di enam LPTK Negeri dan
sejumlah LPTK swasta, tetapi keberadaan mereka itu masih banyak belum
diketahui. Pada jenjang S1 program Teknologi Pendidikan, disiapkan tenaga
dengan konsen- trasi kemampuan mengembangkan program dan media untuk
pembelajaran. Pada jenjang S2 untuk mengelola kegiatan pembelajaran yang
bersifat inovatif. Dan pada jenjang S3 lebih terarah pada pembentukan ilmuwan
dan peneliti.
Langkah yang kebanyakan ditempuh
oleh lembaga penyelenggara SDJJ adalah melatih tenaga yang sudah ada dalam
berbagai kompetensi yang diperlukan. Namun kondisi ini tidak akan membuahkan
hasil yang baik untuk jangka panjang, apalagi kalau SBM dikembangkan lebih luas
lagi.
Tenaga yang diperlukan dalam
penyelenggaraan SBM meliputi berbagai bidang, meliputi bidang manajerial,
akademik, fungsional, dan teknis. Tenaga bidang manajerial adalah mereka yang
mengelola kegiatan, organisasi, dan personel di pusat maupun di daerah. Tenaga
bidang akademik adalah mereka yang mempunyai kompetensi dan keahlian dalam
isi/bidang studi yang diajarkan. Tenaga fungsional adalah mereka yang mempunyai
kompetensi/keahlian dalam perencanaan dan pengembangan kurikulum, teknologi
instruksional, pengujian, pendidikan luar sekolah, bimbingan dan konseling,
serta tenaga peneliti. Dalam SBM tenaga fungsional ini mempunyai posisi
sentral, dan yang seyogianya menjadi tenaga tetap dalam organisasi SBM. Tenaga
peneliti mempunyai posisi yang sangat vital karena ia harus dapat memberi
masukan kepada semua komponen sistem, seperti misalnya mengenai konteks,
karakteristik dan kebutuhan peserta, efektivitas dan daya tarik ajaran,
jangkauan pelayanan, dan lain-lain. Tenaga peneliti ini sebaiknya merupakan
suatu tugas tersendiri, dan tidak di- bebankan atau menjadi beban tambahan bagi
tenaga yang sudah ada. Tenaga teknis adalah yang melaksanakan kegiatan rutin
sehari-hari, termasuk di dalamnya tenaga administrasi. Jenis dan jumlah mereka
tentu saja tergantung pada macam pekerjaan dan bentuk produk yang dihasilkan.
Misalnya, kalau lembaga penyelenggara SBM menghasilkan produk berupa modul
cetak, maka diperlukan tenaga pengetik, penyunting, operator peralatan cetak,
dan sebagainya.
14. Sarana dan Prasarana
Yang dimaksud dengan sarana adalah
segala bentuk peralatan dan fasilitas fisik. Peralatan dapat merupakan
peralatan yang diperlukan untuk produksi, distribusi, kegiatan belajar, maupun
untuk pemberian bantuan dan penilaian. SBM dalam suatu skala yang kecil, masih
dapat menggunakan peralatan manual atau mekanik. Tetapi untuk SBM dalam skala
menengah dan besar perlu digunakan peralatan elektronik.
Yang dimaksudkan dengan prasarana
atau infrastruktur, adalah segala sesuatu yang memungkinkan terselenggaranya
fungsi sarana, seperti misalnya dana, sumber daya listrik, transportasi,
termasuk pula tatanan atau aturan yang terkait di dalamnya. Salah satu alasan
diselenggarakannya SBM adalah karena prasarana yang tidak memungkinkan untuk
menunjang pelaksanaan diklat tatap muka karena faktor geografis.
Prasarana yang berupa tatanan atau
peraturan perlu mendapat perhatian sejak awal. Prasarana ini meliputi, antara
lain ketentuan tentang persyaratan dan seleksi peserta, ketentuan tentang
persyaratan dan status akademik, ketentuan yang berhubungan dengan karier para
peserta, dan sebagainya.
Dana, sering kali merupakan faktor
yang paling menentukan. Penye- lenggaraan SBM sering kali lebih ditekankan pada
tidak tersedianya dana untuk melaksanakan diklat tatap muka, sehingga kalau
dana untuk diklat tatap muka tersedia cukup, maka SBM tidak akan
diselenggarakan. Sebagai implikasinya adalah bahwa SBM dituntut untuk
memperoleh hasil yang sama dengan diklat tatap muka, dengan biaya yang lebih
murah. Pendapat ini tidak senantiasa benar, sebab kalau mau diberikan
pendidikan dan pelatihan yang baik tentu diperlukan berbagai macam sumber
belajar yang berfungsi saling melengkapi. Jadi bahan belajar berupa modul
tertulis saja (apalagi kalau dibuat dengan pertimbangan seekonomis mungkin)
tidak akan mungkin menyamai efektivitas cara belajar tatap muka.
15. Bantuan dan Pengawasan
Untuk menunjang kelancaran kegiatan
belajar, dalam SBM juga diperlukan sejumlah bantuan dan atau pegawasan yang
antara lain meliputi: (1) informasi tentang program dan persyaratannya; (2)
tata cara pendaftar- an atau keikutsertaan; (3) pengadministrasian kegiatan
akademik; dan (4) pemberian umpan balik atas pertanyaan atau saran dan
tanggapan.
Untuk menangani pemberian bantuan
ini diperlukan suatu unit kerja tersendiri, sebab kalau tidak, para peserta
akan merasa ditinggalkan atau dibiarkan dengan persoalannya sendiri. Melalui
kegiatan pemberian bantuan ini dapat dijaga adanya hubungan insani antara
pengajar (yang tidak dikenal karena dari jarak jauh) dengan peserta didik.
Sebagai contoh, surat kabar pun membuka rubrik Surat Pembaca yang berusaha
memelihara kontak antara redaksi dan pembaca. Stasion penyiaran televisi juga
menyediakan acara kontak dengan pemirsa. Bahkan ada satu lembaga perbankan yang
berusaha memelihara kontak dengan deposannya dengan mengirimkan kartu ucapan
selamat ulang tahun kepada deposan yang bersangkutan.
16. Penelitian dan Penilaian
Penelitian yang diperlukan untuk
mendukung pelaksanaan SBM dapat dibedakan dalam beberapa peringkat. Pada
peringkat kebijakan penelitian diperlukan untuk pengembangan masa depan,
seperti misalnya penjajagan kelayakan, kebutuhan normatif dan masa depan,
pengelolaan kegiatan, dan sebagainya. Pada peringkat strategis diperlukan
penelitian untuk mengetahui kecenderungan karakteristik calon peserta,
kompetensi dan pendidikan tenaga yang ada dan yang diperlukan, efektivitas
program, analisis biaya, dan lain-lain. Sedangkan pada peringkat operasional
diperlu- kan penelitian untuk mengetahui masalah produksi, distribusi,
kesulitan belajar, hasil belajar, dan sebagainya.
Penelitian mengenai efektivitas dan
efisiensi masih sangat terbatas sekali dilakukan di Indonesia. Kebanyakan
digunakan hasil penelitian yang dilakukan di luar negeri. Memang ada baiknya
hasil penelitian di luar negeri, meskipun dengan latar belakang budaya yang
berbeda, dijadikan referensi guna menghasilkan program yang bermakna dan
bermutu. Namun sebaiknya dilakukan penelitian sendiri.
17. Implikasi SBM dalam Manajemen
Manajemen SBM sedikitnya mengandung
tiga kategori, yaitu manajemen kegiatan, manajemen organisasi, dan managemen
personel. Manajemen kegiatan pada hakikatnya merupakan usaha yang bertujuan
untuk menentukan dan menyelenggarakan pembaruan demi tercapainya falsafah dan
kebijakan kelembagaan. Bertolak dari deskripsi SBM, kegiatan- kegiatan dapat
dikategorisasikan dalam tiga peringkat, yaitu: (1) peringkat kebijakan; (2)
peringkat strategik; dan (3) peringkat operasional.
1.
Kegiatan
peringkat ini meliputi: penjabaran kebijakan, penilaian kebutuhan, penentuan
kriteria peserta, penilaian proses kegiatan, pembentukan organisasi, rekrutmen
dan seleksi tenaga, serta sertifikasi dan pengakuan.
2.
Pada
peringkat strategis kegiatannya meliputi perancangan pro-gram, penentuan
strategi, pengembangan bahan belajar (termasuk di dalamnya evaluasi formatif
untuk menyempurnakan bahan belajar tersebut), produksi bahan belajar, serta
penyimpanan dan distribusi bahan belajar.
3.
Kegiatan
peringkat operasional meliputi: publikasi, pendaftaran calon peserta,
penerimaan peserta, pemberian orientasi kepada para peserta, penyediaan
(logistik) bahan belajar, pengelolaan kegiatan belajar setempat, penilaian
kemajuan belajar, dan pemberian bantuan belajar.
Masalah manajemen kemudian adalah
siapa yang harus mengerjakan kegiatan itu? Masalah ini merupakan bidang
manajemen personel. Dalam manajemen personel ini perlu dirumuskan jenis tenaga
yang diperlukan, jabatan atau posisinya dalam organisasi, tanggung jawabnya,
kompetensi yang harus dimilikinya, pelatihan yang diperlukan untuk memiliki dan
atau meningkatkan kompetensi, penugasan ke dalam suatu pekerjaan tertentu,
pembinaan dalam pekerjaan (termasuk pengawasan, penyegaran, dan peningkatan
karier dan kesejahteraan), serta pelayanan dalam pekerjaan (penyediaan sarana
dan pemberian bantuan teknis).
Personel dengan segala kegiatannya
itu perlu diorganisasikan, dan ini merupakan bidang manajemen organisasi yang
bertujuan untuk berfungsinya kegiatan dengan jalan membentuk unit kerja, menentukan
status organisasi, menyusun struktur organisasi, mengusahakan anggaran,
mengusahakan sarana dan prasarana, serta menentukan prosedur administratif
suatu unit kerja.
Secara umum fungsi manajemen
meliputi: (1) perencanaan; (2) pengorganisasian; (3) penyusunan pekerja; (4)
pengarahan; (5) pengoordinasian; dan (6) pengendalian. Semua fungsi manajemen
ini perlu dilaksanakan pada setiap kategori manajemen.
Bilamana kategori dan fungsi
manajemen ini dipadankan dengan komponen-komponen SBM, maka akan terlihat
kompleksitas per- masalahannya. Permasalahan manajemen SBM tidak mungkin
dipecahkan secara ad hoc atau sambil lalu. Agar SBM dapat terselenggara dengan
baik, maka seyogianya dikelola tersendiri dengan memerhatikan seluruh komponen
sistem serta kategori dan fungsi manajemen.
C. Suatu model
kelembagaan IPTEK dalam pembangunan pendidikan indonesia
1.
Pendahuluan
Pertumbuhan bidang pendidikan dalam periode Pembangunan Jangka
Panjang I telah berlangsung dengan sangat mengesankan. Program pemerataan
kesempatan pendidikan melalui SD Inpres telah berhasil menyediakan kesempatan
pendidikan bagi semua anak usia sekolah dasar. Bahkan sejak tahun 1993
pemerintah telah memutuskan untuk meningkat- kan wajib belajar enam tahun
menjadi sembilan tahun pendidikan dasar, yaitu meliputi Sekolah Dasar dan
Sekolah Menengah Pertama.
Kebijakan peningkatan wajib belajar sembilan tahun antara lain
didasarkan pada anggapan bahwa peningkatan pendidikan akan me- ningkatkan
kualitas sumber daya manusia. Namun kebijakan itu bukan tidak mengandung
masalah, yaitu bagaimana menyediakan kesempatan belajar lanjut bagi lulusan SD.
Pertumbuhan aspek kuantitatif saja akan membawa akibat pada penurunan mutu.
Sebagian besar indikator pembaruan pendidikan masih berorientasi pada nilai,
prinsip, dan prosedur yang tradisional. Usaha transformasi pendidikan, di mana
hakikat, lembaga, dan fungsi pendidikan dikembangkan dengan menggunakan nilai,
prinsip, dan prosedur baru secara menyeluruh, masih sangat terbatas. Dengan
kata lain, usaha pembaruan pendidikan masih berkisar pada pemecahan masalah
dalam bidang pendidikan sendiri yang telah ada sejak masa lalu. Masalah
pendidikan masa depan, baik yang timbul sebagai tantangan pembangunan di dalam
negeri, maupun yang timbul karena pengaruh globalisasi, masih belum tertangani
secara berarti. Padahal dalam periode PELITA VI - memasuki era tinggal landas
pendidikan harus sudah berhasil menyediakan sumber daya manusia yang mempunyai
keahlian, keterampilan, dan profesi yang sesuai dengan kebutuhan
pembangunan. Kecuali itu pendidikan harus pula berperan dalam menciptakan
kondisi mental dan sikap masyarakat, untuk menerima dan bertindak secara
positif dalam proses perubahan sosial, serta mengantisipasi kecenderungan masa
depan.
2.
Kecenderungan
Pendidikan Masa Depan
Setiap pembahasan tentang masa depan senantiasa mengandung
ketidakpastian, tak terkecuali pembahasan pendidikan masa depan. Apa yang
dibahas berikut ini bukan merupakan arah perkembangan pendidikan masa depan,
melainkan landasan berupa prinsip, konsep, dan prosedur yang diperlukan untuk
melakukan usaha tranformasi pendidikan. Kecenderungan yang diidentifikasikan
berikut ini merupakan ramuan dari berbagai sumber (Miarso, 1990) namun belum
merupakan ramuan yang komprehensif.
Belajar menyelidik, yaitu
meliputi kemampuan seseorang dalam menggunakan proses dan prosedur intelektual
untuk memecahkan masalah akademis maupun praktis yang dihadapinya. Dalam
kalangan ilmu alamiah kemampuan ini disebut dengan "belajar
menemukan" (discovery learning) dan dalam kawasan ilmu budaya sering
disebut "belajar berkreasi" (creativity learning). Prinsip ini dalam
pelaksanaannya dicerminkan dengan ber- kurangnya penjelasan atau ceramah oleh
guru, dan dengan meningkat- nya kegiatan meneliti baik secara mandiri maupun
kelompok-oleh peserta didik.
Belajar mandiri. Prinsip ini
sangat erat hubungannya dengan belajar menyelidik, yaitu berupa pengarahan dan
pengontrolan diri dalam mem- peroleh dan menggunakan pengetahuan. Kemampuan ini
penting karena keberhasilan dalam kehidupan, akan diukur dari kesanggupan
bertindak dan berpikir sendiri, dan tidak tergantung kepada orang lain. Paling
sedikit ada dua kemungkinan untuk melaksanakan prinsip ini, yaitu (1) digunakan
program belajar yang mengandung petunjuk untuk belajar sendiri oleh peserta didik
dengan bantuan guru yang minimal; dan (2) melibatkan siswa dalam merencanakan
dan melaksanakan kegiatan
Belajar sendiri. Bentuk
pertama telah dikembangkan dalam sistem PAMONG, PPSP, SMP Terbuka, dan
Universitas Terbuka dengan digunakannya modul belajar. Bentuk kedua pernah
dikembangkan dalam sekolah laboratorium IKIP Malang yang dipimpin oleh Prof.
Dr. S. Pakasi.
Belajar struktur bidang studi. Materi arau informasi dalam bidang studi
berkembang sejalan dengan perkembangan pengetahuan. Karena kemampuan manusia
terbatas, sedang informasi terus bertambah, maka cara yang lebih bermakna
adalah bila kita mampu mempelajari gagasan umum yang dijadikan dasar dalam
menyusun, menafsirkan, dan mem- perkirakan gejala yang ada dalam bidang studi
itu, atau dengan kata lain mempelajari struktur bidang studi. Mempelajari
struktur ini dapat dilakukan melalui pemahaman konsep, prinsip, prosedur, dan
model teoritik. Cara ini akan lebih ekonomis dan praktis. Memang ada sejumlah
informasi dan fakta dasar yang harus dikuasai, namun dengan menguasai struktur
tersebut fakta dan informasi selanjutnya dapat disimpan dalam berbagai macam
sarana bantu yang dapat diambil kembali sewaktu-waktu diperlukan.
Belajar mencapai penguasaan. Prinsip ini
didasarkan pada asumsi bahwa tiap peserta didik mampu menguasai apa yang
dipelajarinya. Asumsi lama menganggap bahwa derajat pencapaian belajar peserta
didik akan terdistribusi secara normal dalam suatu kelompok. Jadi kalau asumsi
lama menilai keberhasilan belajar dengan jalan memperbandingkan pencapaian
peserta didik dengan teman sekelompoknya, maka asumsi baru mem- bandingkannya
dengan penguasaan atas tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Penguasaan
atas tujuan ini merupakan standar bagi semua peserta didik, dengan ketentuan
bahwa tiap peserta didik mendapat tugas yang sesuai dengan kemampuannya, serta
bahwa kepada mereka itu dapat disediakan bahan, waktu, dan bimbingan yang
diperlukan untuk ke- berhasilannya. Dengan prinsip ini maka peranan utama guru
adalah mengelola kegiatan belajar peserta didik dan memberikan bimbingan yang
diperlukan.
Pendidikan untuk perkembangan kepribadian. Perkembangan ini merupakan perkembangan segala aspek kepribadian
secara utuh, bukan hanya menekankan pada aspek kognitif saja, melainkan pula
keyakinan, minar, dan nilai yang membentuk pribadi seseorang. Dengan ini
seseorang akan dapat menentukan tujuan hidupnya, mengembangkan gaya hidupnya.
dan mampu bertindak yang serasi dan selaras dengan lingkungannya. Perhatian
juga diberikan pada perkembangan harga diri, disiplin, dan konsep diri yang
positif. Program pendidikan dengan demikian dituntut untuk sepadan dengan
karakteristik peserta didik, serasi dengan aspirasi per- orangan dan
masyarakat, cocok dengan kebutuhan pembangunan, dan selaras dengan kemajuan zaman.
Mengutamakan kepentingan peserta didik. Mengingat bahwa kondisi dan karakteristik masing-masing peserta
didik yang berbeda. sedangkan mereka semua berhak mendapatkan pendidikan dan
mereka juga dituntut untuk menguasai kemampuan minimal yang telah ditentukan,
maka untuk mereka masing-masing perlu diadakan berbagai macam kemungkinan, dan
disediakan kemudahan untuk mengikuti salah satu kemungkinan itu. Misalnya, bagi
peserta didik yang tinggal di daerah terpencil dan terisolasi atau mereka yang
karena alasan fisik dan sosial- ekonomi tidak dapat mengikuti pendidikan
regular, harus dapat diberikan program pendidikan kompensatoris dengan derajat
dan pengakuan yang setaraf dengan program regular. Proses untuk menyelesaikan
masalah yang berorientasikan kepentingan peserta didik ini perlu dilakukan
dengan bersistem, yaitu dengan melakukan identifikasi masalah, penentuan
alternatif dan persyaratan pemecahan, pemilihan strategi pemecahan dari
alternatif yang ada, pelaksanaan strategi yang dipilih, menentukan efektivitas
penyelenggaraan, dan revisi pada setiap langkah dalam proses. Proses itu
merupakan proses yang berkelanjutan, suatu proses yang senantiasa diperbaiki
sesuai dengan adanya masukan baru.
Persebaran waktu. Pendidikan
itu berlangsung sepanjang waktu, terutama waktu jaga setiap orang. Apabila
setiap peserta didik perlu waktu tidur tujuh jam sehari, maka 17 jam waktu jaga
setiap hari merupakan waktu potensial untuk terselenggaranya pendidikan.
Berkaitan pula dengan konsep pendidikan seumur hidup, maka pendidikan itu
mempunyai waktu yang sangat luwes. Dalam suatu sistem pendidikan hendaknya ada
keter- paduan antara pendidikan di dalam sekolah dan di luar sekolah, sehingga
perolehan suatu kemampuan tidak hanya dibatasi dan dihargai sewaktu seseorang
bersekolah, atau didasarkan pada ijazah/tanda tamat belajar. Demikian juga usia
seseorang untuk mengikuti program pendidikan seyogianya tidak dibatasi. Dalam
konteks ini perlu dihindari penggunaan istilah pendidikan formal, nonformal dan
informal, karena istilah itu telah menyesatkan dalam pengotakan waktu dan
tempat.
Persebaran tempat. Erat
kaitannya dengan persebaran waktu, maka kegiatan pendidikan itu pada dasarnya
dapat berlangsung di mana saja. Namun, bilamana dikehendaki agar pendidikan itu
terarah dan terawasi perlu ditata terlebih dahulu bentuk kelembagaan dan tata
caranya. Penataan ini tidak harus dilakukan secara formal dalam suatu bentuk
perundangan khusus, melainkan dapat pula berkembang sebagai suatu kebiasaan
dalam masyarakat. Apabila penataan ini telah terselenggara, terdapatlah
jaringan belajar di dalam masyarakat, atau yang disebut Torsten Husen sebagai "masyarakat
belajar" (1986).
Keanekaragaman sumber. Pada awal
kebudayaan, manusia memper- oleh pendidikan dari alam sekitarnya. Dalam
perkembangan kemudian ada orang-orang tertentu yang diberi wewenang khusus
untuk memberikan pendidikan-yang kemudian kita kenal dengan sebutan
"guru". Namun, guru bukanlah satu-satunya sumber bagi peserta didik
untuk memperoleh pendidikannya. Guru hanyalah salah satu sumber insani, dan di
samping itu masih ada lagi sumber non-insani. Sumber-sumber insani ini harus
pula dilengkapi dengan sumber non-insani berupa lingkungan, alat, media, dan
sebagainya. Peranan guru sebagai penyaji informasi tidak lagi tepat dalam
perkembangan ini, karena hal itu dapat dilakukan oleh media.
Diferensiasi peranan. Sejalan
dengan adanya berbagai macam sumber insani, maka guru harus berbagi peranan
dengan orang lain yang mempunyai tugas dan fungsi khusus. Semua orang tergabung
ke dalam suatu tim instruksional; dan masing-masing orang di samping mempunyai
keahlian dalam bidang tanggung jawabnya, juga memahami peranannya. Guru tidak
lagi mempunyai kewenangan tunggal dalam proses instruksional.
Ekonomi pendidikan. Pendidikan
sebagai suatu proses yang menciptakan hasil, tidak mungkin terbebas dari
pertimbangan ekonomi. Ditinjau dari segi anggaran, komponen pembiayaan untuk
guru merupakan jumlah yang terbesar, oleh karena itu harus bisa digunakan
seefisien dan seefektif mungkin. Dalam penggunaan sumber-sumber lain pun harus
di- pertimbangkan biaya yang paling ekonomis. Bila ada sejuta guru SD tentu
tidak akan ekonomis untuk menuntut agar masing-masing guru membuat media
instruksional; belum lagi kalau harus dipertimbangkan kualitasnya. Berbagai
cara tradisional, seperti misalnya cara penataran guru dengan mengumpulkan
mereka secara bergelombang di suatu tempat untuk suatu waktu tertentu, perlu
dikaji efisiensinya. Dituntut adanya kesepadanan antara waktu, biaya, dan tenaga
di satu pihak, dengan hasil yang diperoleh pada pihak lain.
Pendekatan ilmiah. Pendidikan
merupakan kepentingan semua orang. Tetapi itu tidak berarti bahwa pendidikan
itu merupakan "common sense" yang dapat dimengerti dan diketahui oleh
orang awam. Pendidikan sebagai suatu disiplin keilmuan berkembang sesuai dengan
perkembangan daya pikir, keadaan, dan kebutuhan manusia. Sebagai ilmu terapan,
pen- didikan banyak mengambil ajaran dari ilmu-ilmu murni seperti filsafat,
sosiologi, psikologi, ilmu alamiah, dan ilmu terapan lain seperti manajemen.
Ajaran-ajaran ini kemudian diramu dan dikembangkan lebih lanjut teknik
intelektual khusus, untuk dapat digunakan dalam mensistematisasikan pengamatan,
memberikan penjelasan, membuat prediksi, menyusun hipotesis, dan melakukan
penelitian atas gejala yang dipelajarinya. Bentuk teori pendidikan juga
mengalami perkembangan; kalau semula kebanyakan bersifat deskriptif, maka teori
baru banyak yang bersifat preskriptif.
3.
Teknologi
Pendidikan dan Potensinya
Teknologi
pendidikan merupakan suatu hal yang relatif baru di Indonesia. Ia boleh
dikatakan baru dikenal di Indonesia pada awal PELITA 1, itu pun hanya dikenal
melalui salah satu komponennya yaitu media. Sebagai bidang pengetahuan yang
relatif baru, masih banyak yang mempertanyakan gejala apa yang menjadi
perhatiannya dan karena itu menjadi bidang garapannya; mengapa perlu
diperhatikan dan digarap; dan bagaimana cara serta bentuk penggarapannya.
Gejala yang merupakan bidang garapan
teknologi pendidikan adalah:
1.
Adanya
orang-orang belajar yang belum memperoleh perhatian yang cukup tentang
kebutuhannya, kondisinya, dan tujuannya.
2.
Adanya
si belajar yang tidak cukup memperoleh pendidikan dari sumber- sumber sedekala
(tradisional), dan karena itu perlu dikembangkan dan digunakan sumber-sumber
baru.
3.
Adanya
sumber-sumber baru berupa orang (misalnya penulis buku ajar, dan pembuat media
instruksional), isi pesan (yang tertulis dalam buku, tersaji dalam media, dan
sebagainya), bahan (misalnya buku dan perangkat lunak televisi), alat (pesawat
televisi dan sebagainya), cara-cara tertentu dalam memanfaatkan orang, pesan,
bahan dan alat, serta lingkungan tempat proses belajar itu berlangsung (AECT,
1986)
4.
Adanya
kegiatan yang bersistem dalam mengembangkan sumber-sumber belajar itu yang bertolak
dari landasan teori tertentu dan hasil penelitian, yang kemudian dirancang,
dipilih, diproduksi, disajikan, digunakan. disebarkan, dinilai, dan
disempurnakan.
5.
Adanya
pengelolaan atas kegiatan belajar yang memanfatkan berbagai sumber, kegiatan
menghasilkan dan atau memilih sumber belajar, serta orang dan lembaga yang
terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Hal ini dilakukan agar
kegiatan lebih berdaya guna, berhasil guna, dan produktif.
Cara penggarapan gagasan dan rujukan secara khusus, atau disebut
pula teknik intelektual, merupakan sesuatu yang khas, yang tidak dilakukan oleh
bidang pengetahuan lain (Miarso, 1989). Cara yang khas itu adalah dengan:
1.
Memadukan
berbagai macam pendekatan dari bidang psikologi, komunikasi, manajemen,
rekayasa, dan lain-lain secara bersistem.
2.
Memecahkan
masalah secara menyeluruh dan serempak, dengan memerhatikan dan mengkaji semua
kondisi dan saling kaitan di antaranya.
3.
Digunakannya
teknologi sebagai proses dan produk untuk membantu memecahkan masalah.
4.
Timbulnya
daya lipat atau efek sinergi, di mana penggabungan pendekatan dan atau
unsur-unsur mempunyai nilai lebih dari sekadar penjumlahan. Demikian pula
pemecahan secara menyeluruh dan serempak akan mempunyai nilai lebih daripada
memecahkan masalah secara terpisah.
Apabila konsep
teknologi pendidikan diterapkan dalam suatu sistem pendidikan maka akan dapat
dilihat ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Adanya
dan dimanfaatkannya sumber-sumber baru berupa orang, pesan, bahan, peralatan,
teknik, dan latar, yang memungkinkan orang untuk belajar secara terarah dan
terkendali.
2.
Dilakukannya
fungsi pengembangan yang meliputi penelitian, perancangan, produksi, seleksi,
logistik, penyebaran, dan penilaian dalam proses pengadaan dan pemakaian sumber
belajar.
3.
Dilaksanakannya
fungsi pengelolaan atas organisasi dan personel yang melakukan kegiatan
pengembangan dan atau pemanfaatan sumber belajar.
4.
Timbulnya
berbagai jenis pola instruksional dengan terintegrasinya sumber belajar baru
dalam kegiatan belajar mengajar. Sumber belajar baru tersebut dapat berfungsi
melalui guru, dapat berbagi peran dengan guru, dan dapat berdiri sendiri tanpa
kehadiran guru.
5.
Timbulnya
berbagai alternatif kelembagaan kegiatan pendidikan dengan rentangan antara
sekolah tradisional hingga jaringan belajar. Lembaga- lembaga pendidikan itu
dapat dibedakan atas dasar tiga kriteria berikut:
· ketat tidaknya aturan penyelenggaraan lembaga tersebut dalam arti
waktu.
· tempat, tenaga, dan sarana memusat atau menyebarnya kewenangan
pengelolaan kegiatan belajar- mengajar
· keragaman sumber belajar yang dikembangkan dan dipakai.
6.
Adanya
standar mutu bahan ajaran dan tersedianya sejumlah pilihan bahan ajaran yang
mutunya terujikan.
7.
Berkurangnya
keragaman proses pengajaran, namun dengan mutu yang lebih baik.
8.
Dilakukannya
perencanaan dan pengembangan pembelajaran oleh para ahli yang khusus
bertanggung jawab untuk itu dalam suatu kerja sama tim.
9.
Tersedianya
bahan ajaran dengan kualitas yang lebih baik, serta jumlah dan macam yang lebih
banyak.
10.
Dilakukannya
penilaian dan penyempurnaan atas segala tahap dalam proses pembelajaran.
11.
Diselenggarakannya
pengukuran hasil belajar berdasarkan penguasaan tujuan yang ditetapkan.
12.
Berkembangnya
pengertian dan peranan guru; guru bukan lagi sebagai sumber pengetahuan,
melainkan sebagai pengelola kegiatan belajar.
Pengkajian konsepsi teknologi
pendidikan ini menunjukkan potensinya untuk menjawab tantangan pendidikan masa
depan. Namun, landasan konsepsi saja tidak cukup untuk dijadikan dasar
kelembagaan teknologi pendidikan ke dalam sistem pendidikan. Perlu ada landasan
kebijakan dan operasional atas konsepsi tersebut.
1.
Kebijakan
dan Penerapan Teknologi Pendidikan
Dalam menghadapi masalah internal
pendidikan dan tantangan masa depan, sebenarnya pemerintah sudah menyadari
perlunya ada kebijakan dan strategi pengembangan pendidikan yang bersifat
inovatif, yaitu yang tidak terikat dengan tradisi yang ada. Sebagai salah satu
strategi yang digariskan pada awal PJPT I adalah program peningkatan mutu
pendidikan dengan memanfaatkan teknologi komunikasi. Dalam PELITA I (1969)
70-1973/74) dirumuskan salah satu program pembangunan pendidikan berupa:
"... digunakan media massa: radio dan televisi untuk peningkatan mutu
sekolah dasar." (RI, 1970: 361)
Bertolak dari kebijakan tersebut
maka pada tahun 1970 dibentuk suatu Lembaga Media Pendidikan sebagai bagian
dari Badan Pengembangan Pendidikan (BPP) Departemen Pendidikan. Lembaga baru
itu mulai melaku kan serangkaian kegiatan dalam rangka melaksanakan kebijakan
yang telah ditetapkan. Langkah pertama yang dilakukan adalah memilih tenaga dan
kemudian menyelenggarakan pendidikan dan latihan. Periode ini lebih merupakan
periode persiapan di mana dikembangkan jaringan kerja sama dengan semua pihak
yang berkepentingan, serta diselenggarakan sejumlah studi kelayakan, dan
pelaksanaan kegiatan perintisan.
Dalam periode PELITA II dan III
ditetapkan sejumlah kebijakan dan kegiatan. Beberapa kegiatan penting yang
diselenggarakan dan kebijakan yang berkaitan, secara kronologis dapat
dilaporkan sebagai berikut:
Pada bulan September 1974 diselenggarakan bersama satu seminar oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Penerangan, Departemen
Perhubungan dan LAPAN yang berskala internasional untuk menyambut rencana
pembangunan sistem komunikasi satelit domestik. Dalam pengarahan seminar
tersebut Menteri Syarif Thayeb menyatakan:
Kemajuan dan perkembangan teknologi komunikasi dengan satelit
domestik ini mempunyai lingkup yang begitu luas, sehingga memberikan rangsangan
penting yang belum pernah terjadi sebelumnya. Meskipun seluruh dimensi
tantangan ini belum lagi dapat diketahui dengan jelas dan diatasi secara
saksama, tetapi jelas telah membuka medan baru yang luas dan menyeluruh dengan
struktur dan fungsinya yang baru. (1974)
Sebagai tindak lanjut pengarahannya itu, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan pada tahun 1975 membentuk Tim Studi Pra-Investasi Teknologi
Komunikasi untuk Pendidikan dan Kebudayaan. Pedoman umum yang diberikan kepada
tim itu adalah:
1.
Kegiatan
harus bertitik tolak dari kebijaksanaan pendidikan dan kebudayaan yang sudah
ada.
2.
Rencana
harus dikembangkan dari analisa kebutuhan dan tujuan pembangunan pendidikan dan
kebudayaan, dengan mencari jalan pemecahan melalui teknologi komunikasi yang
sifatnya massa.
3.
Pengembangan
pendidikan harus diprioritaskan pada pemerataan mutu dan pemerataan
kesempatan/pelayanan pendidikan.
4.
Usaha
peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan harus dimulai dari titik pangkal
strategis, yaitu tenaga pengajar.
5.
Media
pendidikan yang dipakai minimal harus yang telah terbukti efektif di
tempat/negara lain, dan yang ideal telah dapat dibuktikan efektivitasnya di
Indonesia.
6.
Harus
diusahakan pendekatan integratif dengan semua unit yang bersangkutan, atau
minimal ada koordinasi penuh dengan kegiatan lain yang berkaitan langsung.
7.
Harus
dapat dikembangkan tenaga sendiri untuk melaksanakan kegiatan, dengan membatasi
tenaga ahli asing.
8.
Kegiatan
apa pun yang dilakukan harus mengusahakan social payoff yang sebesar-besarnya.
9.
Harus
dapat dibatasi gejolak negatif yang mungkin timbul.
10.
Pola
dan sistem yang dikembangkan harus bersifat luwes, hingga memungkinkan:
· keterlibatan jumlah sasaran secara maksimal
· pengembangan/perluasan pelayanan
· penyebaran (desentralisasi) kegiatan
11.
Output
kegiatan yang dilakukan harus tidak sekadar berupa tambahan, melainkan sesuatu
yang inovatif dalam menunjang sistem penyajian yang efektif.
(Depdikbud,
1975)
Pedoman ini meskipun telah
digariskan 18 tahun yang lalu kiranya masih tetap relevan hingga sekarang. Tim
Studi Pra-Investasi ini me- nyelesaikan tugasnya pada tahun 1975, dengan
menyampaikan sejumlah saran kebijakan kepada menteri. Dengan diterimanya
rekomendasi tersebut, maka tim dibubarkan dan sebagai pelaksana kebijakan
selanjutnya dibentuk Tim Penyelenggara Teknologi Komunikasi untuk Pendidikan
dan Kebudayaan (TP-TKPK), yang diberi tugas melaksanakan saran kebijakan yang
disetujui/ ditetapkan.
Pada bulan Mei 1976 diselenggarakan
rapat koordinasi nasional pengembangan dan pemanfaatan teknologi komunikasi
untuk pendidikan dan kebudayaan. Menteri Syarif Thayeb dalam pengarahan rapat
koordinasi itu menyatakan hal-hal sebagai berikut:
...pembangunan/pengembangan
suatu subsistem teknologi pendidikan di mana media komunikasi massa merupakan
suatu komponen integral ini untuk selanjutnya saya sebut teknologi komunikasi
untuk pendidikan dan kebudayaan (TKPK). Inovasi dalam TKPK ini tidak hanya
sekadar merupakan input tambahan, melainkan input yang menuntut adanya
penyesuaian dan perubahan dimensi-dimensi lain dalam sistem pendidikan.
Sebagai konsekuensi kebijakan itu,
latihan dan pendidikan ketrampilan yang telah dimulai oleh TP-TKPK sejak tahun
1972 dengan kerja sama IKIP Jakarta, ditingkatkan menjadi pendidikan keahlian
teknologi pendidikan pada jenjang SI di IKIP Jakarta. Jenjang pendidikan
keahlian itu pada tahun 1978 ditingkatkan hingga S2 dan S3 di IKIP Jakarta dan
Malang. Pada jenjang S1 pendidikan keahlian sekarang ini diselenggarakan di
enam IKIP Pembukaan pendidikan keahlian ini dapat diselenggarakan karena adanya
bantuan teknis dari USAID. Sekitar 40 orang kader mendapat pendidikan keahlian
khusus terlebih dahulu di luar negeri.
Penggunaan siaran radio untuk
penataran guru SD diresmikan pada tanggal 16 Februari 1977 oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan. Program penataran itu meliputi guru-guru SD di 11
provinsi. Program itu didasarkan pada hasil perintisan selama empat tahun,
serta berbagai kajian empirik dan konseptual yang dilakukan sebelumnya. Program
itu sekarang masih berlangsung dan meliputi lk. 200.000 orang guru SD yang
tersebar di 17 provinsi.
Lokakarya nasional teknologi
komunikasi diadakan pada bulan Juli 1978. Salah satu butir pengarahan Menteri
Daoed Joesoef adalah sebagai berikut:
Manfaat teknologi komunikasi ini harus ditempatkan pada proporsi
yang sebenarnya. Ia harus dapat mengganti peranan guru yang bersifat
mekanistis, seperti penyampaian pengetahuan dan informasi secara faktual,
supaya dengan demikian waktu guru bisa digunakan untuk melakukan hal-hal yang
lebih esensial dalam pendidikan, yaitu memberikan bantuan dalam pengembangan
kepribadian anak secara menyeluruh.
Suatu lembaga baru dalam jajaran
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dibentuk pada bulan Agustus 1978,
menggantikan Tim Penyelenggara Teknologi Komunikasi untuk Pendidikan dan
Kebudayaan. Lembaga baru itu berkedudukan langsung di bawah Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan dan disebut Pusat Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan
(Pusat TKPK/Pustekkom). Pusat ini mendapat tugas mengoordinasikan pengembangan
dan penggunaan teknologi komunikasi untuk pendidikan dan kebudayaan di dalam
maupun di luar Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tugas lembaga ini tergolong unik,
karena di samping bertugas sebagai inovator (menemukan dan mengembangkan
gagasan baru untuk membantu memecahkan masalah pendidikan), juga bertindak
sebagai pelaksana kegiatan, seperti menyelenggarakan latihan keahlian,
memproduksi media instruksional, mengelola perintisan, dan membina penyebaran
hasil pengembangan.
Pada bulan Juli 1979 Pusat TKPK
memprakarsai perintisan SMP Terbuka (SMPT) sebagai suatu subsistem
sekolah yang merupakan penerapan konsep teknologi pendidikan. Wujud nyata
sistem ini adalah dikembangkan dan digunakannya bahan belajar mandiri berupa
modul cetak sebagi sumber belajar utama. Modul ini ditunjang oleh sumber
belajar lain seperti siaran radio, kaset audio maupun video, film-bingkai
(slides), serta sumber daya insani (narasumber) yang ada setempat. Perintisan
ini diselenggarakan di lima kecamatan, yaitu Kalianda (Lampung Selatan), Plumbon
(Cirebon), Adiwerna (Tegal), Kalisat (Jember), dan Terara (Lombok Tengah).
Subsistem SMPT sengaja dirancang
sebagai sistem persekolahan kompensatoris, yaitu untuk mengkompensasikan
kondisi siswa (calon siswa) yang tidak dapat mengikuti sekolah regular karena
mengalami kesulitan sosial-ekonomi dan hambatan geografik. Sistem ini telah
diteliti secara menyeluruh, dan hasilnya menunjukkan bahwa tingkat kelulusan
Ebtanas (94%) dan nilainya tidak berbeda dengan sekolah regular; dapat diterima
(acceptable) oleh masyarakat, orang tua maupun pemerintah; dan mungkin
(feasible) untuk diselenggarakan secara ekonomis (biaya operasi SMPT lebih
kurang 60% dari biaya operasi SMP Regular). Atas dasar itu maka sekarang ini
sudah berkembang sebanyak 356 SMPT di semua provinsi di Indonesia.
Diproyeksikan dalam akhir REPELITA VI akan beroperasi 2.331 buah, dengan jumlah
siswa 275.000.
Eksperimen penggunaan SKSD PALAPA
untuk pendidikan tinggi, dengan bantuan teknis USAID dalam rangka Rural
Satellite Project di- selenggarakan pada tahun 1980-1985. Eksperimen ini
menghubungkan 10 perguruan tinggi di wilayah Indonesia bagian Timur dengan IPB
di Bogor dan Ditjen Dikti di Jakarta. Tujuan eksperimen untuk membuktikan bahwa
teknologi komunikasi dapat digunakan untuk meningkatkan mutu dan pertukaran
informasi di perguruan tinggi. Kegiatan ini sudah terhenti terutama karena
masalah biaya. Sarana yang masih dapat digunakan saat ini diusahakan untuk
dapat digunakan melayani kebutuhan berbagai program pendidikan dan pelatihan
yang sifatnya ad-hoc.
Seminar/workshop internasional
Pendidikan Jarak Jauh yang diselenggarakan oleh Pusat TKPK pada tahun 1982
dengan bantuan dan kerja sama USAID dan the East-West Center, menghasilkan
usulan kebijakan disertai naskah akademik untuk dibukanya dan dikembangkannya
sistem pendidikan tinggi terbuka. Universitas Terbuka kemudian diresmikan oleh
Presiden Soeharto pada tanggal 4 September 1984.
Pada tahun 1983 Pusat TKPK
merencanakan dan memproduksi program serial televisi untuk pendidikan watak
bagi remaja (serial ACI = Aku Cinta Indonesia/ Amir, Cici, Ito). Produksi
serial ini sepenuhnya dibiayai dari anggaran pembangunan, meskipun paket
percobaannya diproduksi dengan bantuan teknis UNICEF. Program ini, sebanyak 156
episode, mulai ditayangkan oleh TVRI pada bulan April 1985 hingga 1988. Dengan
diresmikannya Televisi Pendidikan Indonesia pada bulan Januari 1991, tentunya
diharapkan agar pembuatan dan penayangan serial pendidikan dapat diteruskan.
Namun, karena alokasi dana untuk
sektor pendidikan yang terbatas harus disalurkan untuk program-program
prioritas, maka harapan ini tidak terwujud. Dalam periode 1984-1992 cukup
banyak kegiatan yang termasuk dalam bidang teknologi pendidikan, namun tidak
mungkin disebut satu persatu dalam kesempatan ini. Salah satu kegiatan yang
perlu dicatat adalah terbentuknya organisasi profesi teknologi pendidikan
"Ikatan Profesi Teknologi Pendidikan Indonesia" (IPTPI) pada 27
November 1987.
Kebijakan yang sangat penting
artinya adalah dicantumkannya dalam GBHN 1993 untuk pertama kali posisi dan
fungsi teknologi pendidikan, yaitu:
teknologi pendidikan... dikembangkan dan disebarluaskan secara
merata untuk membantu terselenggaranya dan meningkatnya kualitas pendidikan
sesuai dengan tuntutan persyaratan pendidikan serta kebutuhan pembangunan.
Rumusan dalam GBHN itu mengandung makna bahwa teknologi pendidikan
sudah ditetapkan sebagai bagian integral dari kelembagaan pendidikan.
BAB III
PENUTUP
Pembahasan di atas menunjukkan bahwa kelembagaan IPTEK dalam
pembangunan, dalam hal ini Teknologi Pendidikan dalam pembangunan pendidikan,
telah berlangsung secara konseptual maupun operasional. meskipun dalam skala
yang masih terbatas. Usaha pelembagaan itu berlangsung dalam waktu yang relatif
lama. Beberapa indikator hasil pelembagaan itu adalah sebagai berikut:
1.
Adanya
peningkatan produktivitas sistem pendidikan perseko-lahan. seperti yang
terlihat dalam bertambahnya lulusan SMP melalu subsistem SMPT, dan perguruan
tinggi melalui UT.
2.
Efektivitas
program teknologi pendidikan, yang ditunjukkan antara lain oleh besarnya
lulusan SMPT yang tidak berbeda dengan SMP Regular.
3.
Efisiensi
program karena dengan menerapkan konsep Teknologi Pendidikan dalam SMPT hanya
diperlukan dana 60% dari dana sekolah regular, dengan hasil yang tidak berbeda.
Kasus pelembagaan teknologi
pendidikan menunjukkan perlunya dipenuhi sejumlah persyaratan, yaitu:
1. Adanya kemauan politik yang
tegas dan konsisten untuk dipakai sebagai landasan tindakan.
2. Adanya tenaga profesi yang mampu untuk merancang, mengembangkan,
melaksanakan, dan mengelola program kegiatan. Makin rumit suatu proses, makin
tinggi kemampuan dan etika profesi yang dituntut. Kalau pada awalnya hanya
dituntut tenaga terampil, maka dalam per- kembangannya dituntut adanya tenaga
mahir dan ahli.
3. Diperlukan usaha tambahan melebihi usaha yang telah biasa
dilakukan. Makin tinggi teknologi yang digunakan, makin besar usaha yang harus
dilakukan dan makin lama waktu yang diperlukan-waktu antara awal dan akhir
pelaksanaan usaha.
4. Adanya keuletan dan kesungguhan dari para pelaksana disertai tekad
untuk selalu memperbaiki dan mengembangkan diri, sesuai dengan perkembangan dan
tuntutan zaman.
5. Diperlukan sumber dana dan sarana tambahan, yang semakin besar dan
banyak dengan semakin canggihnya teknologi yang digunakan.
6. Penggunaan perlu disesuaikan dengan kebutuhan. Kebutuhan itu
sendiri ada berbagai macam, mulai dari kebutuhan paling dasar, yaitu kebutuhan
hidup sehari-hari yang dirasakan hingga kebutuhan proyektif atau ekspresif
untuk masa depan.
7. Diperlukan spesialisasi dan pembagian kerja. Dengan semakin
rumitnya proses produksi dan terbatasnya kemampuan manusia, maka diperlukan
adanya spesialisasi yang semakin tajam dan dengan pembagian kerja
antarspesialiasi itu yang jelas.
8. Karena adanya keterikatan antara tenaga, waktu, dan sarana maka
diperlukan adanya organisasi yang mengoordinasikan berbagai unsur untuk
berlangsungnya proses yang memerlukan keterkaitan. Organisasi yang diperlukan
adalah yang bercirikan berkurangnya hierarki, ber- tambahnya ketangkasan,
pendelegasian wewenang lebih besar, ketergantungan lebih besar pada informasi,
dan bertambahnya kreativitas dan inovasi.
9. Perlunya ada disiplin yang semakin tinggi dengan semakin canggihnya
teknologi, terlebih-lebih disiplin internal yang didasarkan pada rincian tugas
dan tanggung jawab yang telah ditentukan dan atau telah di- sepakati. Disiplin
ini pada awalnya mungkin perlu dipaksakan dari luar, atau dilakukan dengan
pengawasan yang ketat.
10. Penggunaan teknologi secara spontan dan yang lamban, boleh
dikatakan tidak memerlukan perencanaan; asal ada dana dan sedikit usaha,
teknologi itu bisa diperoleh dan digunakan. Tetapi, hal ini hanya akan
menempatkan seseorang/suatu lembaga dalam kedudukan konsumtif. Penggunaan
teknologi untuk keperluan pembangunan memerlukan rencana yang sistematis.
11. Perlunya dukungan konsepsi dan teori yang dapat diandalkan, yang
perlu didukung dengan sejumlah penelitian, pengembangan, dan penilaian atas
gejala yang ada dan cara mengatasinya.
12. Perlu diusahakan terciptanya iklim yang menguntungkan, yaitu dengan
diterimanya gagasan dan pelaksanaannya oleh para pelaku dan mereka yang
terlibat.
DAFTAR PUSTAKA
Association for Educational Communications and Technology, 1988,
Definisi Teknologi Pendidikan, terjemahan, Jakarta: CV. Rajawali.
Brunner, Jerome S., 1966, Toward a Theory of Instruction,
Cambridge, NJ.: Harvard University Press.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1974, Catatan Rapat Teras
tentang Teknologi Komunikasi Untuk Pendidikan dan Kebudayaan, 22 Agustus 1975.
Gagne, Robert M., 1977, The Condition of Learning and Theory of
Instruction. Fourth Edition, New York: Holt, Rinehart, and Winston.
Heinich, Robert, 1970, "Technology and the Management of
Instruction", Monograph, No. 4, Washington, DC.: AECT.
Husen, Torsten, 1988, Masyarakat Belajar, terjemahan, Jakarta:
PAU-UT dan CV Rajawali.
Illich, Ivan, 1971, Deschooling Society, New York: Harper & Row
Publishers. Miarso, Yusufhadi, 1993, "Pengertian Dasar SMP Terbuka",
makalah dalam program pelatihan pengelola SMPT, Dikdasmen Dikbud.
Joesoef, Daoed, Pengarahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dalam
okakarya Nasional Teknologi Komunikasi Pendidikan, Jakarta, 18 Juli 1978.
Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Ketetapan-ketetapan Majelis
Permusyawarat- an Rakyat RI, Maret 1993, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI.
Miarso, Yusufhadi, (1989), Monograf Teknologi Pendidikan, PAU-PPAI
Ditjen Dikti, Depdikbud.
Morris, Barry, (ed.), "The Function of Media in the Public
Schools", Audiovisual Instruction, Vol. 8, No. 1, Januari 1963.
Reigeluth, Charles M., (ed.), 1983, Instructional Design Theories
and Hillsdale, NJ.: Lawrence Erlbaum Ass. Publishers.
Republik Indonesia, (1970), Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama
1969 70-1973/74, Bandung: Penerbit Do'a Restu.
Thayeb, Syarif, Pengarahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pada
Seminar Penggunaan SKSD untuk Pendidikan dan Pembangunan, Jakarta, 9 September
1974.
EmoticonEmoticon